Ilmu Al-Quran

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Salah satu objek penting lainya dalam kajian ‘Ulumul Qur’an’ adalah perbincangan mengenai mukjizat. Persoalan mukjizat, terutama mukjizat Al-Qur’an , sempat menyeret para teolog klasik dalam perdebatan yang berkepenjangan, terutama antara teolog dari kalangan Mu’tazilah dan para teolog dari kalangan Ahlussunnah mengenai konsep shirfah.
Dengan perantara mukjizat, Allah mengingatkan manusia bahwa para rasul itu merupakan utusan yang mendapat dukungan dan bantuan dari langit. Mukjizat yang telah diberikan kepada para nabi mempunyai fungsi yang sama, yaitu memainkan perananya dan mengatasi kepandaian kaumnya disamping membuktikan bahwa kekuasaan Allah itu berada diatas segala-galanya.
Suatu umat yang tinggi pengetahuanya dalam ilmu kedokteran, misalnya tidak wajar dituntun dengan mukjizat dalam ilmu tata bahasa, begitu pula sebaliknya. Tuntunan dan pengarahan yang ditunjukan pada suatu umat harus berkaitan dengan pengetahuan mereka karena Allah tidak akan mengarahkan suatu umat pada hal-hal yang tidak mereka ketahui. Tujuanya adalah agar tuntunan dan pengarahan Allah bermakna. Disitulah letak mukjizat yang telah diberikan kepada para Nabi.
B.     Perumusan Masalah
Agar lebih memperjelas tentang mukjizat Al-Qur’an. Maka penulis merumuskan masalah kemukjizatan (keunggulan) Al-Quran sebagai berikut:
a.    pengertian Kemukjizatan Al-Quran
b.    Bukti Historis kegagalan setiap upaya menandingi Al-Quran
c.    Kamukjizatan Al-Quran dalam perspektif ilmiah kontemporer
C.     Tujuan Penulisan
1.    Untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Ulumul Qur’an .
2.    Untuk mengetahui seluk-beluk mukjizat Al-Qur’an dan menambah wawasan pengetahuan, khusunya dalam bidang Study Ilmu Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Mukjizat
Menurut bahasa kata Mu’jizat berasal dari kata i’jaz diambil dari kata kerja a’jaza-i’jaza yang berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan, ia dinamai mu’jizat.
Menurut istilah Mukjizat adalah  peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya. Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan pula sebagai suatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah SWT. Melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya.
Kata I’jaz dalam bahasa Arab berarti menganggap lemah kepada orang lain. Sebagimana Allah berfirman:
أَعْجَزَتُ أَنْ أَكُوْنَ مِثْلَ هَذَاالْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي (المائدة : 31)
“…Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini” (QS. Al Maidah (5): 31)
Mukjizat ini ditujukan untuk menunjukkan kelemahan manusia untuk mendatangkan hal yang serupa dengannya. Mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa yang bertentangan dengan adapt dan keluar dari batas-batas yang telah diketahui. I’jazul Quran (kemukjizatan Al-Quran) artinya menetapkan kelemahan manusia, baik secara berpisah-pisa maupun berkelompok, untuk bias mendatangkan yang sejenis dengan Al-Quran. Kemukjizatan Al-Quran ini ditujukan untuk menjelaskan bahwa kitab ini adalah hak, dan Rasul yang membawanya adalah Rasul yang benar. Tidak ada satu pun dari mukjizat nabi-nabi yang dapat ditandingi oleh manusia. Tujuan mukjizat hanya untuk melahirkan kebenaran dan menetapkan bahwa mereka bawa itu adalah semata-mata wahyu dari zat yang Mahabijaksana., dan diturunkan dari Tuhan yang Mahakuasa. Mereka hanyalah menyampaikan risalah Allah. Oleh karena itu, mukjizat adalah dalil dari Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya untuk membenarkan Rasul-rasul dan Nabi-nabi. Dengan perantaraan mukjizat ini, seolah-olah Allah bersabda,”Benar Hamba-Ku dalam hal yang ia sampaikan dari Aku dan Aku mengutusnya agar ia menyampaikan sesuatu kepadamu.”
Dalil atas kebenarannya adalah dengan cara menjalankan hal-hal yang bertentangan dengan adapt dan melakukan hal-hal yang berada diluar kemampuan manusia sehingga tidak ada seorangpun yang bisa mendatangkan sesamanya. Itulah arti melemahkan dan itu pula pengertian mukjizat.
Sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab peristiwa-peristiwa alam, yang terlihat sehari-hari, walaupun menakjubkan, tidak dinamai mukjizat. Hal ini karena peristiwa tersebut merupakan suatu yang biasa. Yang dimaksud dengan “luar biasa” adalah sesuatu yang berbeda di luar jangkauan sebab akibat yang hukum-hukumnya diketahui secara umum. Demikian pula dengan hipnotis dan sihir, misalnya sekilas tampak ajaib atau luar biasa, karena dapat dipelajari, tidak termasuk dalam pengertian “luar biasa” dalam definisi di atas.
Hal-hal di luar kebiasaan tidak mustahil terjadi pada diri siapapun. Apabila keluarbiasaan tersebut bukan dari seorang yang mengaku Nabi, hal itu tidak dinamai mukjizat. Demikian pula sesuatu yang luar biasa pada diri seseorang yang kelak bakal menjadi Nabi ini pun tidak dinamai mukjizat, melainkan irhash. Keluarbiasaan itu terjadi pada diri seseorang yang taat dan dicintai Allah, tetapi inipun tidak disebut mukjizat, melainkan karamah atau kerahmatan. Bahkan, karamah ini bisa dimiliki oleh seseorang yang durhaka kepada-Nya, yang terakhir dinamai ihanah (penghinaan) atau Istidraj (rangsangan untuk lebih durhaka lagi).
Allah SWT, mengistimewakan Nabi kita Muhammad SAW, dengan bekal mukjizat yang luar biasa, yaitu Al-Quranul KArim, yang merupakan nur Ilahi dan wahyu samawi yang diletakkan ke dalam lubuk hati Nabi-Nya sebagai Quranan Arabiyyan (bacaan berbahasa Arab) yang lurus. Beliau membacanya sepanjang malam dan siang. Dengannya beliau dapat menghidupkan semangat generasi dari bahaya kemusnahan, dari generasi yang sudah punah menjadi generasi yang hidup kembali dengan pancaran sinar Al-Quran dan menunjukinya dengan jalan yang teramat lurus sera membangkitkan dari lembah kenistaan menjadi umat yang terbaik yang ditampilkan untuk ikatan seluruh manusia.
Al-Quran telah membangkitkan umat manusia untuk memperbaharui masyarakat dan menyusun generasi yang belum pernah tampil dalam sejarah. Al-Quran pula menampilkan orang Arab dari kehidupan sebagai penggembala unta dan kambing menjadi pemimpin bangsa-bangsa, yang dapat menguasai dunia bahkan dikenal samapi negeri-negeri yang sangat jauh. Kesemuanya itu berkat Al-Quran sebagai mukjizat (Muhammad) penutup para Nabi dan Rasul.
Mukjizat para Nabi terdahulu itu hanya berupa mukjizat indrawi yang sesuai dengan masa dan zaman ketika mereka dibangkitkan. Mukjizat Nabi Isa a.s. yang dapat menghidupkan orang-orang mati, menyembuhkan penyakit buta dan kusta serta dapat memberitahukan hal-hal yang gaib. Ia diutus pada suatu masa ketika ilmu kedokteran dan pengetahuan tumbuh subur dan popular, dan banyak bermunculannya dokter-dokter spesialis. Waktu itu tampillah Isa Ibnu Maryam dengan membawa sesuatu yang mengagumkan serta menundukkan mereka, yaitu dapat menyembuhkan orang-orang yan sakit, menghidupkan orang-orang yang telah mati dan menyembuhkan orang-orang yang buta dan tuli.
Bila mukjizat-mukjizat Nabi dan Rasul terdahulu berupa mukjizat materi yang bersifat indrawi maka mukjizat Muhammad Ibnu Abdullah adalah berupa mukjizat ruhiyah yang bersifat rasional. Allah telah memberikan keistimewaan kepadanya berupa Al-Quran sebagai mukjizat rasional yang kekal di sepanjang zaman agar diperhatikan oleh orang yang mempunyai hati dan pemikiran. Sehingga mereka bias terkena pantulan sinarnya dan mempergunakan petunjuknya, di saat kini dan nanti. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW, ia bersabda, “tiada seorang Nabi pun dari nabi-nabi yang terdahulu itu, kecuali mereka diberi mukjizat yang sesuai, agar manusia mempercayainya, tetapi (mukjizat) yang diberikan kepadaku adalah berupa wahyu (pengetahuan) yang disampaikan oleh Allah kepadaku. Aku mengharapkan agar aku menjadi Nabi yang paling banyak pengikutnya.”
Secara garis besar, mukjizat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat material indrawi yang tidak kekal dan mukjizat immaterial, logis, dan dapat dibuktikan sepanjang masa. Mukjizat nabi-nabi terdahulu merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan dan dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat mereka menyampaikan risalahnya.
Perbedaan ini disebabkan oleh dua hal pokok:
1.      Para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW, ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan mukjizat Nabi Muhammad  yang diutus seluruh umat manusia sampai akhir zaman sehingga bukti ajaranya harus selalu ada dimana dan kapanpun berada.
2.      Manusia mengalami perkembangan dalam pemikiranya. Umat para Nabi khususnya sebelum Nabi Muhammad membutuhkan bukti kebenaran yang sesuai dengan tingkat pemikiran mereka. Bukti tersebut harus demikian jelas dan langsung terjangkau oleh indra mereka. Akan tetapi, setelah manusia  mulai menanjak ke tahap kedewasaan berpikir, bukti yang bersifat indrawi tidak dibutuhkan lagi.
B.     Bukti Historis Kegagalan Menandingi Al-Qur’an
Al-Qur’an digunakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menantang orang-orang pada masanya dan generasi sesudahnya yang tidak mempercayai kebenaran Al-Qur’an sebagai firman Allah (bukan ciptaan Muhammad) dan risalah serta ajaran yang dibawanya. Terhadap mereka, sungguhpun memiliki tingkat fashahah dan balaghah yang tinggi di bidang bahasa Arab, Nabi memintanya untuk menandingi Al-Qur’an dalam tiga tahapan:
1.       Mendatangkan semisal Al-Qur’an secara keseluruhan, sebagaimana dijelaskan pada surat Al-Isra (17) ayat 88:
                   
“Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian lain.” (Al-Isra (17): 88)
2.      Mendatangkan sepuluh surat yang menyamai surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan dalam surat Hud (11) ayat 13 berikut
                   
“Bahkan mereka mengatakan, Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an itu. “ Katakanlah, kalu demikian, maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat menyamai, dan panggilah orang-orang yang kamu sanggup memanggilnya selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar” (Q.S. Hud [11]: 13)
3.      surat yang menyamai surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan oleh surat Al-Baqarah (2) ayat 23:

     •               
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kami orang-orang yang benar” (QS. Al Baqarah (2): 23)
Sejarah telah menunjukan bahwa jawaban orang-orang Arab ternyata gagal menandingi Al-Qur’an. Inilah beberapa catatan sejarah yang memperlihatkan kegagalan itu:
1.    Pemimpin Quraisy pernah mengutus Abu Al-Walid, seorang sastrawan ulung yang tiada bandingannya untuk membuat sesuatu yang mirip dengan Al-Qur’an ketika Abu Al-Walid berhadapan dengan Rasulullah SAW. Yang membaca surat Fushilat, ia tercengang mendengar kehalusan dan keindahan gaya bahasa Al-Qur’an dan ia pun kembali pada kaumnya dengan tangan hampa.
2.    Musailamah bin Habib Al Kadzdzab yang mengaku sebagai Nabi juga pernah berusaha mengubah sesuatu yang mirip dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Ia mengaku bahwa dirinyapun mempunyai Al-Qur’an yang diturunkan dari langit dan dibawa oleh Malaikat yang bernama Rahman. Di antara gubahan-gubahannya yang dimaksudkan untuk mendandingi Al-Qur’an itu adalah antara lain:

لطِّيْنِيَاضِفْدَعُ بِنْتُ ضِفْدَعَيْنِ نَقِّيْ مَاتُنَقِيْنَ أَعْلاَكِ فِى اْلمَاءِ وَأَسْفَلُكِ فِى االطن
“Hai katak, anak dari dua katak. Bersihkan apa saja yang akan engkau bersihkan, bagian atas engkau di air dan bagian bawah engkau di tanah”.

Ketika itu pula, ia merobek-robek apa saja yang telah ia kumpulkan dan merasa malu tampil di depan khalayak ramai. Setelah peristiwa itu ia mengucapkan kata-katanya yang masyhur:

“Demi Allah, siapapun yang tidak akan mampu mendatangkan yang sama dengan Al-Qur’an.”
Tidak mustahil terjadi hal-hal diluar kebiasaan pada diri siapapun.Namun apabila bukan dari seorang yang mengaku Nabi ,maka ia tidak dinamakan mu’jizat. Boleh jadi sesuatu yang luar biasa tampak pada diri seorang yang kelak bakal manjadi Nabi ,inipun tidak dinamakan mu’jizat tetapi irhash,boleh jadi juga kelurbiasaan itu terjadi pada seorang yang taat dan dicintai Allah ,tetapi inipun tidak dinamakan mu’jizat hal ini dinamakan karamah atau kekeramatan yang bahkan tidak mustahil terjadi pada seseorang yang durhaka kepada-Nya.Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir maka tidak mungkin lagi terjadi suatu mu’jizat sepeninggal beliau,walaupun ini bukan berarti bahwa keluarbiasaan tidak dapat terjadi dewasa ini.
Bila yang ditantang berhasil melakukan hal yang serupa maka ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti,perlu digarisbawahi bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang ditantang,bahkan untuk lebih membuktikan tantangan mereka biasanya aspek kemu’jizatan masing-masing Nabi adalah hal-hal yang sesuai dengan bidang keahlian umatnya.
Ada beberapa orang yang meragukan kemungkinan terjadinya “keluarbiasaan”. Bukankah aneka keluarbiasaan tersebut bertentangan dengan akal sehingga mustahil terjadi ?
Sesungguhnya keluarbiasaan itu tidak mustahil menurut pandangan akal yang sehat dan tidak pula bertentangan dengannya,yang sebenarnya terjadi adalah bahwa keluarbiasaan itu hanya sukar,tidak atau belum dapat dijangkau hakikat atau cara kejadiannya oleh akal.
Sumber daya manusia sungguh sangat besar dan tidak dapat dibayangkan kapasitasnya. Potensi kalbu yang merupakan salah satu sumber daya manusia dapat menghasilkan hal-hal yang luar biasa yang boleh jadi tidak diakui oleh orang yang tidak mengenalnya,hal ini sama dengan penolakan generasi terdahulu tentang banyaknya kenyataan masa kini yang lahir dari pengembangan daya pikir.
Sama sekali bukan suatu hal yang mustahil apabila kesucian jiwa para Nabi dapat menghasilkan _melalui bantuan Allah_peristiwa luar biasa dipandang dari ukuran hukum-hukum alam yang diketahui umum,padahal sesungguhnya ia mempunyai hukum-hukumnya tersendiri dan yang dapat dilakukan oleh siapapun selama terpenuhi syarat-syaratnya.

C.     Kemukjizatan Al-Quran dalam perspektif ilmiah kontemporer

a. Kebenaran Ilmiah Al-Quran
Al-Quran adalah kitab petunjuk, demikian hasil yang kita peroleh dari mempelajari sejarah turunnya. Ini sesuai pula dengan penegasan Al-Quran: Petunjuk bagi manusia, keterangan mengenai petunjuk serta pemisah antara yang hak dan batil. (QS 2:185).
Jika demikian, apakah hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan? Berkaitan dengan hal ini, perselisihan pendapat para ulama sudah lama berlangsung. Dalam kitabnya Jawahir Al-Quran, Imam Al-Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim. Al-Imam Al-Syathibi (w. 1388 M), tidak sependapat dengan Al-Ghazali. Dalam kitabnya, Al-Muwafaqat, beliau –antara lain– berpendapat bahwa para sahabat tentu lebih mengetahui Al-Quran dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan bahwa Al-Quran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.
Membahas hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar; ilmu komputer tercantum dalam Al-Quran; tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Quran yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi “social psychology” (psikologi sosial) bukan pada sisi “history of scientific progress” (sejarah perkembangan ilmu pengetahuan). Anggaplah bahwa setiap ayat dari ke-6.226 ayat yang tercantum dalam Al-Quran (menurut perhitungan ulama Kufah) mengandung suatu teori ilmiah, kemudian apa hasilnya? Apakah keuntungan yang diperoleh dengan mengetahui teori-teori tersebut bila masyarakat tidak diberi “hidayah” atau petunjuk guna kemajuan ilmu pengetahuan atau menyingkirkan hal-hal yang dapat menghambatnya?
Malik bin Nabi di dalam kitabnya Intaj Al-Mustasyriqin wa Atsaruhu fi Al-Fikriy Al-Hadits, menulis: “Ilmu pengetahuan adalah sekumpulan masalah serta sekumpulan metode yang dipergunakan menuju tercapainya masalah tersebut.”
Selanjutnya beliau menerangkan: “Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya terbatas dalam bidang-bidang tersebut, tetapi bergantung pula pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorongnya lebih jauh.”
Ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya dinilai dengan apa yang dipersembahkannya kepada masyarakat, tetapi juga diukur dengan wujudnya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan itu.
Sejarah membuktikan bahwa Galileo, ketika mengungkapkan penemuannya bahwa bumi ini beredar, tidak mendapat counter dari suatu lembaga ilmiah. Tetapi, masyarakat tempat ia hidup malah memberikan tantangan kepadanya atas dasar-dasar kepercayaan dogma, sehingga Galileo pada akhirnya menjadi korban tantangan tersebut atau korban penemuannya sendiri. Hal ini adalah akibat belum terwujudnya syarat-syarat sosial dan psikologis yang disebutkan di atas. Dari segi inilah kita dapat menilai hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan.
Di dalam Al-Quran tersimpul ayat-ayat yang menganjurkan untuk mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Allah berfirman: Katakanlah hai Muhammad: “Aku hanya menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah.” (QS 34:36).
Demikianlah Al-Quran telah membentuk satu iklim baru yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi kemajuannya.
Al-Quran sebagai kitab petunjuk yang memberikan petunjuk kepada manusia untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan adalah mendorong manusia seluruhnya untuk mempergunakan akal pikirannya serta menambah ilmu pengetahuannya sebisa mungkin. Kemudian juga menjadikan observasi atas alam semesta sebagai alat untuk percaya kepada yang setiap penemuan baru atau teori ilmiah, sehingga mereka dapat mencarikan dalilnya dalam Al-Quran untuk dibenarkan atau dibantahnya. Bukan saja karena tidak sejalan dengan tujuan-tujuan pokok Al-Quran tetapi juga tidak sejalan dengan ciri-ciri khas ilmu pengetahuan. Untuk menjelaskan hal ini, berikut ini kami paparkan beberapa ciri-ciri ilmu pengetahuan.
b.    Ciri Khas Ilmu Pengetahuan
Ciri khas nyata dari ilmu pengetahuan (science) yang tidak dapat diingkari meskipun oleh para ilmuwan– adalah bahwa ia tidak mengenal kata “kekal”. Apa yang dianggap salah di masa silam misalnya, dapat diakui kebenarannya di abad modern.
Pandangan terhadap persoalan-persoalan ilmiah silih berganti, bukan saja dalam lapangan pembahasan satu ilmu saja, tetapi terutama juga dalam teori-teori setiap cabang ilmu pengetahuan. Dahulu, misalnya, segala sesuatu diterangkan dalam konsep material (istilah-istilah kebendaan) sampai-sampai manusia pun hendak dikatagorikan dalam konsep tersebut. Sekarang ini kita dapati psikologi yang membahas mengenai jiwa, budi dan semangat, telah mengambil tempat tersendiri dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Dahulu, persoalan-persoalan moral tidak mendapat perhatian ilmuwan, tetapi kini penggunaan senjata-senjata nuklir, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari persoalan tersebut; mereka tidak mengabaikan persoalan moral dalam penggunaan senjata nuklir yang merupakan hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan.
Teori-teori ilmiah juga silih berganti. Qawanin Al-Thabi’ah (Natural Law) yang dahulu dianggap pasti, tak mengizinkan suatu kebebasan pun. Sekarang ini ia hanya dinilai sebagai “summary of statictical averages” (ikhtisar dari rerata statistik).
Teori bumi datar yang merupakan satu hukum aksioma di suatu masa misalnya, dibatalkan oleh teori bumi bulat yang kemudian dibatalkan pula oleh teori lonjong seperti lonjongnya telur. Mungkin tidak sedikit orang yang yakin-bahwa pertimbangan-pertimbangan logika atau ilmiah –terutama menurut Ilmu Pasti– adalah “benar”, sedangkan kenyataannya belum tentu demikian.
Salah satu sebab dari kesalahan ini adalah karena sering kali titik tolak dari pemikiran manusia berdasarkan pancaindera atau perasaan umum. Perasaan umumlah yang, misalnya, menyatakan bahwa sepotong baja adalah padat, padahal sinar U memperlihatkan bahwa ia berpori.
Karenanya, tidak heran kalau Imam Al-Ghazali pada suatu masa hidupnya tidak mempercayai indera. Beliau menulis dalam kitabnya Al-Munqidz min Al-Dhalal: “Bagaimana kita dapat mempercayai pancaindera, dimana mata merupakan indera terkuat, sedangkan bila ia melihat ke satu bayangan dilihatnya berhenti tak bergerak sehingga dikatakanlah bahwa bayangan tak bergerak. Tetapi dengan pengalaman dan pandangan mata, setelah beberapa saat, diketahui bahwa bayangan tadi tak bergerak, bukan disebabkan gerakan spontan tetapi sedikit demi sedikit sehingga ia sebenarnya tak pernah berhenti; begitu juga mata memandang kepada bintang, ia melihatnya kecil bagaikan uang dinar, akan tetapi alat membuktikan bahwa bintang lebih besar daripada bumi.”
Dari sini jelaslah bahwa ilmu pengetahuan hanya melihat dan menilik; bukan menetapkan. Ia melukiskan fakta-fakta, objek-objek dan fenomena-fenomena yang dilihat dengan mata seorang yang mempunyai sifat pelupa, keliru, dan ataupun tidak mengetahui. Karenanya, jelas pulalah bahwa apa yang dikatakan orang sebagai sesuatu yang benar (kebenaran ilmiah) sebenarnya hanya merupakan satu hal yang relatif dan mengandung arti yang sangat terbatas.
Kalau demikian ini sifat dan ciri khas ilmu pengetahuan dan peraturannya, maka dapatkah kita menguatkannya dengan ayat-ayat Tuhan yang bersifat absolut, abadi dan pasti benar? Relakah kita mengubah arti ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan perubahan atau teori ilmiah yang tidak atau belum mapan itu? Tidakkah hal ini memberikan kesempatan kepada musuh-musuh Al-Quran atau bahkan kepada kaum Muslim sendiri untuk meragukan kebenaran Al-Quran, kitab akidah dan petunjuk, terutama setelah ternyata terdapat kesalahan suatu teori ilmiah yang tadinya dibenarkan oleh Al-Quran? Demikian juga mengingkari suatu teori ilmiah berdasarkan ayat-ayat Al-Quran sangat berbahaya, karena ekses yang ditimbulkannya tidak kurang bahayanya dengan apa yang timbul di Eropa ketika gereja mengingkari teori bulatnya bumi dan peredarannya mengelilingi matahari.
c.    Isyarat-isyarat Ilmiah
Banyak sekali isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Qur-an misalnya:
a.       Cahaya matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan. Terdapat dalam Q.S. Yunus [10]: 5.
b.      Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyesakan napas, hal ini terdapat pada surat Al-An’am [6]: 25
c.       Perbedaan sidik jari manusia. Terdapat dalam surat Al-Qiyamah [75]: 4
d.      Aroma/bau manusia berbeda-beda. Terdapat dalam surat Yusuf [12]: 94
e.       Masa penyusuan yang tepat dan kehamilan minimal. Terdapat dalam surat Al-Baqarah [2]: 233
f.        Adanya nurani (super ego) dan bawah sadar manusia. Terdapat dalam surat Al-Qiyamah [75]: 14
g.      Yang merasakan nyeri adalah kulit. Terdapat dalam surat Al-Qiyamah [75]: 4

BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Dari makalah dapat di ambil kesimpulan bahwa Al-Qur’an ini adalah Mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Kita tahu bahwa setiap Nabi diutus Allah selalu dibekali mukjizat untuk meyakinkan manusia yang ragu dan tidak percaya terhadap pesan atau misi yang dibawa oleh Nabi.
Mukjizat ini selalu dikaitkan dengan perkembangan dan keahlian masyarakat yang dihadapi tiap-tiap Nabi, setiap mukjizat bersifat menantang baik secara tegas maupun tidak, oleh karena itu tantangan tersebut harus dimengerti oleh orang-orang yang ditantangnya itulah sebabnya jenis mukjizat yang diberikan kepada para Nabi selalu disesuaikan dengan keahlian masyarakat yang dihadapinya dengan tujuan sebagai pukulan yang mematikan bagi masyarakat yang ditantang tersebut.
Pembuktian mukjizat saintifik di dalam Al-Quran akan menjadi langkah yang sangat strategis di samping juga bisa menjadi piranti dakwah bagi non muslim agar mereka tertarik oleh Islam. Di samping pembuktian mukjizat Al-Quran juga berfungsi untuk menutup pintu ateisme pada mereka dan pada orang-orang yang berada di sekitar mereka baik golongan anak-anak muda timur maupun mereka yang terbaratkan pemikiran dan kebudayaannya. Karena imbas kebenaran-kebenaran saintifik akan berefek lebih besar dan vital bagi akal mereka bila dibanding dengan dalil-dalil lainnya.
B.     SARAN
Demikianlah dalam hal ini penulis akhiri makalah ini tak lupa mohon maaf kepada semua pihak, kritik dan saran penulis harapkan demi perbaikan penulisan makalah ini selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama, 2002. Surbaya. Cv. Rams Putra
Prof. Dr Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Quran,  Bandung, : Pustaka Setia, 1998. cetakan I.
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Jakarta : Mizan Dian Semesta, 2000.
http://aadesanjaya.blogspot.com/2009/12/makalah-kemukjizatan-al-quran.html
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Terbitan Dar Al-Irsyad, 1969,
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2010, jilid 2
Al-Ghazali, Al-Munqidz min Al-Dhalal, komentar ‘Abdul Halim Mahmud, Anglo Al-Mishriyyah, Kairo, 1964,

download file:

TUGAS Studi Al-Quran

Tinggalkan komentar